Dieng merupakan kawasan yang menyimpan berjuta daya tarik dan menawarkan pesona alam yang menakjubkan. Memang, tak hanya keelokan panoramanya yang menjadi eksklusifitas Dieng, namun runtutan peristiwa historis dengan peninggalan-peninggalan purbakala yang ditemukan di Dieng juga menjadi daya tarik yang tak pernah ada habisnya untuk diperbincangkan.
Tatkala menyibak berbagai hal tentang Dieng, kita akan melintasi lorong waktu yang begitu panjang, melihat pada untaian peristiwa yang sangat rumit, dan dihadapkan pada bentangan lembar sejarah yang tak berujung, dimana di dalamnya terjadi berbagai fenomena alam, dinamika politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat melelahkan. Sebuah perjalanan historis yang pada akhirnya membentuk mentalitas, baik bagi penghuninya maupun masyarakat pada umumnya.
Ya, dari sinilah kita akan melihat bagaimana mata air peradaban mulai mengalir dan berubah menjadi arus kemajuan jaman dewasa ini. Meskipun belum lengkap bukti-bukti tertulis dan peninggalan historis lain yang mampu menyingkap misteri tentang Dieng, setidaknya kita dapat memperkirakan dan berimajinasi jauh ke masa lampau, bahwa Dataran Tinggi Dieng merupakan satu kawasan yang memegang peran penting dalam perkembangan sejarah Indonesia.
Para ahli sejarah dan arkeolog banyak yang berpendapat bahwa Dataran Tinggi Dieng telah dijelajahi oleh manusia semenjak 2000 tahun lalu atau bahkan lebih. Dimungkinkan bertepatan dengan migrasi besar-besaran orang-orang Keling (India) ke tanah Jawa.
Peristiwa tersebut disimbolkan dalam sebuah mitos yang mengisahkan pemindahan kahyangan para Dewa dari Gunung Meru di Jambudwipa (Himalaya) ke Dieng. Inilah awal mula nama Dieng muncul, dalam sebuah cerita mistis yang menggambarkan Batara Guru, dikenal juga dengan sebutan Sang Hyang Jagadnata, yang diidentifikasi sebagai seorang brahmana atau penguasa di daerah Jambudwipa, memindahkan kahyangan para Dewa ke Dieng. Dan sejak saat itu, sebagaimana ungkapan Dennys Lombard dalam karyanya yang berjudul NUSA JAWA, Dieng ditetapkan sebagai Pingkalingganing Buwana.
Ya, nama Dieng memang berasal dari dua kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu Ardhi yang berarti Gunung, dan Hyang yang berarti Dewa. Tak mengherankan jika Dieng dikenal juga dengan sebutan Negeri Para Dewa.
Terlepas dari kebenaran mitos tersebut, Dieng tetap menjadi satu kawasan eksklusif. Jika kita melihat peta pulau Jawa, dan menarik garis diagonal dari ujung barat di sisi utara hingga ujung timur di sisi selatan Pulau Jawa, maka kita akan melihat bahwa Dataran Tinggi Dieng tepat berada di tengah-tengahnya. Bisa dibayangkan, kecermatan perhitungan yang luar biasa, tanpa teknologi secanggih saat ini, ribuan tahun silam sudah mampu menentukan sebuah titik lokasi yang strategis untuk menyebarkan peradaban.
Tentu saja hal ini semakin mempertegas betapa hebatnya kemampuan leluhur kita dalam memilih Dieng sebagai Pingkalingganing Buwana sekaligus Kahyangan Para Dewa. Artinya, Dataran Tinggi Dieng menjadi gunung yang disucikan atau ditasbihkan kesuciannya oleh para Dewa sejak ribuan tahun silam. Inilah salah satu alasan, mengapa pada masa-masa mendatang Dieng akan menjadi kawasan yang selalu diburu oleh banyak orang.
Migrasi besar-besaran bangsa Keling, diperkirakan dilakukan dengan perencanaan yang matang selama bertahun-tahun, disebabkan karena beberapa hal, seperti serbuan para pengembara Hun dari padang rumput Eurasia serta desakan dan pengaruh Helenisasi dari Yunani, pada masa pengelanaan Alexander The Great.
Informasi lain, seperti Kitab Paramayoga karya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita, mengisahkan bahwa kepindahan Sang Hyang Jagadnata (Syiwa) ke Tanah Jawa berkaitan dengan konsep kenabian Isa.
Salah satu keturunan Sang Hyang Jagadnata adalah Ajisaka, seorang tokoh yang memperkenalkan Aksara Jawa dan tertib sosial kepada pribumi. Dalam Serat Niti Sastra Kawi, Serat Paramayoga, dan Serat Pustaka Raja Purwa, dimana ketiga serat tersebut disesuaikan dengan Serat Juz Al Gubet dan Serat Miladuniren yang beredar di Turki, terdapat informasi yang menyebutkan bahwa pertama-tama Ajisaka datang ke Tanah Jawa, ia bertapa terlebih dahulu di Pegunungan Dieng yang telah ditasbihkan kesuciannya oleh Sang Hyang Jagadnata sebagai Pingkalingganing Buwana.
Kompleks candi-candi di Dieng dibangun pada abad ke 7-8 Masehi, pada masa pemerintahan Kerajaan Kalingga, dengan Ratu yang sangat fenomenal dalam sejarah kita, yakni Ratu Sima. Harus diakui bahwa kompleks percandian Dieng merupakan bukti kebesaran Wangsa Jawa pada waktu itu, yang kemudian disusul munculnya Dinasti Sanjaya dan Syailendra yang berkuasa di Jawa beberapa abad kemudian.
Kamis, 07 April 2016
Rabu, 06 April 2016
INFORMASI LENGKAP DIENG CULTURE FESTIVAL (DCF) 2016
Dieng Culture Festival 2016 yang kemudian lebih populer dengan sebutan DCF 2016 diselenggarakan pada tanggal 5-7 Agustus 2016. Dalam event tersebut, pengunjung akan dihibur berbagai acara pertunjukan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Dieng Culture Festival 2016 ini dikemas dalam konsep yang agak berbeda, terutama dalam pemilihan kegiatan pendukung, seperti Scooter Fun Tracking dan Maiyahan yang akan menampilkan Cak Nun dan Kyai Kanjeng. Lihat Dieng Culture Festival untuk melihat gambaran umum tentang event tersebut.
Pada event Dieng Culture Festival kali ini, pengunjung benar-benar akan diajak terlibat dalam berbagai kegiatan, sekaligus menemukan berbagai hal baru dari rangkaian event ini. Ragam acara tersebut akan dibuka pada tanggal 5 Agustus 2016, oleh Gubernur Jawa Tengah, Bp. Ganjar Pranowo, di panggung utama yang berlokasi di sebelah timur Kompleks Candi Arjuna.
Setelah acara pembukaan, dilanjutkan pertunjukan musik Kyai Kanjeng bersama MH Ainun Najib, atau dikenal Cak Nun (meskipun masih dalam proses konfirmasi). Pertunjukan pembukaan ini akan berakhir pada pukul 17.00 WIB.
Bagi pengunjung yang ingin menikmati pesona sunset di Dataran Tinggi Dieng, bisa menuju ke Batu Pandang Ratapan Angin, salah satu ikon baru di kawasan wisata Dieng. Di tempat inilah wisatawan bisa menikmati keindahan dua telaga kembar (Telaga Warna dan Telaga Pengilon) dari ketinggian, sembari menunggu momen yang tak kalah eksotisnya, saat Raja Siang secara perlahan ditelan perut bumi. Semburat warna kuning keemasan akan tampak menghiasi langit di bentangan garis cakrawala kawasan Dieng Pateau.
Setelah menikmati Sunset Dieng dari Batu Pandang Ratapan Angin, pengunjung bersiap untuk menyaksikan pertunjukan spektakuler Jazzatasawan, yang akan digelar di panggung utama. Pertunjukan tersebut akan dimulai pada pukul 20.00 dengan menampilkan sejumlah musisi jazz papan atas dari seluruh tanah air. Sensasi yang luar biasa, bisa menikmati musik jazz dengan berselimut udara dingin, berkisar antara 2-5 derajat Celcius. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Pagi harinya, wisatawan bisa menikmati pesona sunrise dari berbagai bukit atau gunung-gunung kecil di kawasan Dieng. Beberapa lokasi yang bisa dipilih antara lain SIKUNIR dengan pesona Golden Sunrisenya, Bukit Pakuwaja, Gunung Prau, atau Bukit Pangonan. Sangat disarankan untuk berangkat lebih awal dari penginapan, agar tidak terjebak macet, yakni antara pukul 02.00-03.00 WIB.
Setelah puas dengan pesona Sunrise di Dieng, pengunjung bisa kembali ke penginapan, atau jalan-jalan di sekitar kampung (start dan finish di Pendopo Soeharto-Withlam), sembari menunggu penerbangan ribuan balon dan minum purwaceng bersama-sama. Panitia telah menyediakan doorprize untuk peserta jalan santai.
Menikmati wisata alam di berbagai objek wisata Dieng memang sangat menyenangkan, seperti Telaga Warna, Kawah Sikidang, Bukit Sidengkeng, dll. Terlebih lagi pengunjung akan dihibur pertunjukan seni tradisional yang akan dipentaskan di beberapa lokasi. Ya, tanggal 6 Agustus 2016 panitia Dieng Culture Festival 2016 telah mempersiapkan sejumlah pertunjukan seni tradisional yang akan dipentaskan sepanjang hari.
Malam harinya pada pukul 20.00 wisatawan bisa menikmati pertunjukan musik akustik dan stand up comedy. Nikmati suasana malam yang paling romantis, sembari mengocok perut Anda dengan guyonan para penampil Stand Up Comedy. Pertunjukan ini sengaja di gelar untuk mengawali malam yang paling indah, dengan penerbangan seribu lampion secara bersama-sama. Pengunjung tidak diperbolehkan untuk menerbangkan lampion sebelum ada aba-aba dari pembawa acara. Pada saat bersamaan, sejumlah musisi ternama akan melantunkan lagu untuk membuat suasana semakin meriah.
Selain lampion, pengunjung juga akan menyaksikan pesta kembang api, yang akan dinyalakan setelah penerbangan lampion selesai. Luar biasa, panitia Dieng Culture Festival telah mempersiapkan kurang lebih 15 ribu letusan kembang api untuk menghiasi langit Dataran Tinggi Dieng pada acara tersebut. Seluruh rangkaian acara ini rencananya akan selesai pada pukul 23.00 WIB.
Tanggal 7 Agustus 2016 merupakan puncak acara Dieng Culture Festival. Inilah saat yang paling dinanti-nantikan puluhan ribu wisatawan dari berbagai penjuru tanah air, yakni Ruwatan Rambut Gembel atau ritual cukur gembel. Ya, kawasan Dataran Tinggi Dieng memang dikenal memiliki keunikan tersendiri, yaitu anak-anak berambut gimbal.
Acara Ritual Cukur Gembel akan dimulai pada pukul 06.00 dengan Kirab Budaya dari rumah pemangku adat, Mbah Naryono. Khusus untuk acara Kirab Budaya, panitia Dieng Culture Festival membuka kesempatan bagi pengunjung untuk terlibat dengan pakaian adat masing-masing. Namun peserta hanya dibatasi sebanyak 80 orang. Oleh karena itu, bagi yang berminat terlibat dalam Kirab Budaya, diminta untuk mendaftar ke panitia lebih awal.
Acara dilanjutkan dengan jamasan rambut gembel di kompleks Darmasala sebelum acara pemotongan rambut di Komples Candi Arjuna. Sejumlah anak berambut gimbal akan dipotong rambutnya oleh tokoh yang telah ditunjuk. Acara ritual pemotongan rambut ini akan dipimpin oleh Mbah Naryono selaku pemangku adat. Rangkaian kegiatan ruwata rambut gembel ini akan diakhiri dengan pelarungan rambut di Telaga Warna.
Bersamaan dengan dilaksanakannya Ritual Cukur Gembel, dipanggung budaya digelar pementasan wayang kulit yang secara khusus ditujukan untuk ritual, dan berbagai pertunjukan seni tradisi.
5 Agustus 2016
6 Agustus 2016
7 Agustus 2016
Dapatkan paket spesial OPEN TRIP DIENG CULTURE FESTIVAL 2016.
Pada event Dieng Culture Festival kali ini, pengunjung benar-benar akan diajak terlibat dalam berbagai kegiatan, sekaligus menemukan berbagai hal baru dari rangkaian event ini. Ragam acara tersebut akan dibuka pada tanggal 5 Agustus 2016, oleh Gubernur Jawa Tengah, Bp. Ganjar Pranowo, di panggung utama yang berlokasi di sebelah timur Kompleks Candi Arjuna.
Setelah acara pembukaan, dilanjutkan pertunjukan musik Kyai Kanjeng bersama MH Ainun Najib, atau dikenal Cak Nun (meskipun masih dalam proses konfirmasi). Pertunjukan pembukaan ini akan berakhir pada pukul 17.00 WIB.
Bagi pengunjung yang ingin menikmati pesona sunset di Dataran Tinggi Dieng, bisa menuju ke Batu Pandang Ratapan Angin, salah satu ikon baru di kawasan wisata Dieng. Di tempat inilah wisatawan bisa menikmati keindahan dua telaga kembar (Telaga Warna dan Telaga Pengilon) dari ketinggian, sembari menunggu momen yang tak kalah eksotisnya, saat Raja Siang secara perlahan ditelan perut bumi. Semburat warna kuning keemasan akan tampak menghiasi langit di bentangan garis cakrawala kawasan Dieng Pateau.
Setelah menikmati Sunset Dieng dari Batu Pandang Ratapan Angin, pengunjung bersiap untuk menyaksikan pertunjukan spektakuler Jazzatasawan, yang akan digelar di panggung utama. Pertunjukan tersebut akan dimulai pada pukul 20.00 dengan menampilkan sejumlah musisi jazz papan atas dari seluruh tanah air. Sensasi yang luar biasa, bisa menikmati musik jazz dengan berselimut udara dingin, berkisar antara 2-5 derajat Celcius. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Pagi harinya, wisatawan bisa menikmati pesona sunrise dari berbagai bukit atau gunung-gunung kecil di kawasan Dieng. Beberapa lokasi yang bisa dipilih antara lain SIKUNIR dengan pesona Golden Sunrisenya, Bukit Pakuwaja, Gunung Prau, atau Bukit Pangonan. Sangat disarankan untuk berangkat lebih awal dari penginapan, agar tidak terjebak macet, yakni antara pukul 02.00-03.00 WIB.
Setelah puas dengan pesona Sunrise di Dieng, pengunjung bisa kembali ke penginapan, atau jalan-jalan di sekitar kampung (start dan finish di Pendopo Soeharto-Withlam), sembari menunggu penerbangan ribuan balon dan minum purwaceng bersama-sama. Panitia telah menyediakan doorprize untuk peserta jalan santai.
Menikmati wisata alam di berbagai objek wisata Dieng memang sangat menyenangkan, seperti Telaga Warna, Kawah Sikidang, Bukit Sidengkeng, dll. Terlebih lagi pengunjung akan dihibur pertunjukan seni tradisional yang akan dipentaskan di beberapa lokasi. Ya, tanggal 6 Agustus 2016 panitia Dieng Culture Festival 2016 telah mempersiapkan sejumlah pertunjukan seni tradisional yang akan dipentaskan sepanjang hari.
Malam harinya pada pukul 20.00 wisatawan bisa menikmati pertunjukan musik akustik dan stand up comedy. Nikmati suasana malam yang paling romantis, sembari mengocok perut Anda dengan guyonan para penampil Stand Up Comedy. Pertunjukan ini sengaja di gelar untuk mengawali malam yang paling indah, dengan penerbangan seribu lampion secara bersama-sama. Pengunjung tidak diperbolehkan untuk menerbangkan lampion sebelum ada aba-aba dari pembawa acara. Pada saat bersamaan, sejumlah musisi ternama akan melantunkan lagu untuk membuat suasana semakin meriah.
Selain lampion, pengunjung juga akan menyaksikan pesta kembang api, yang akan dinyalakan setelah penerbangan lampion selesai. Luar biasa, panitia Dieng Culture Festival telah mempersiapkan kurang lebih 15 ribu letusan kembang api untuk menghiasi langit Dataran Tinggi Dieng pada acara tersebut. Seluruh rangkaian acara ini rencananya akan selesai pada pukul 23.00 WIB.
Tanggal 7 Agustus 2016 merupakan puncak acara Dieng Culture Festival. Inilah saat yang paling dinanti-nantikan puluhan ribu wisatawan dari berbagai penjuru tanah air, yakni Ruwatan Rambut Gembel atau ritual cukur gembel. Ya, kawasan Dataran Tinggi Dieng memang dikenal memiliki keunikan tersendiri, yaitu anak-anak berambut gimbal.
Acara Ritual Cukur Gembel akan dimulai pada pukul 06.00 dengan Kirab Budaya dari rumah pemangku adat, Mbah Naryono. Khusus untuk acara Kirab Budaya, panitia Dieng Culture Festival membuka kesempatan bagi pengunjung untuk terlibat dengan pakaian adat masing-masing. Namun peserta hanya dibatasi sebanyak 80 orang. Oleh karena itu, bagi yang berminat terlibat dalam Kirab Budaya, diminta untuk mendaftar ke panitia lebih awal.
Acara dilanjutkan dengan jamasan rambut gembel di kompleks Darmasala sebelum acara pemotongan rambut di Komples Candi Arjuna. Sejumlah anak berambut gimbal akan dipotong rambutnya oleh tokoh yang telah ditunjuk. Acara ritual pemotongan rambut ini akan dipimpin oleh Mbah Naryono selaku pemangku adat. Rangkaian kegiatan ruwata rambut gembel ini akan diakhiri dengan pelarungan rambut di Telaga Warna.
Bersamaan dengan dilaksanakannya Ritual Cukur Gembel, dipanggung budaya digelar pementasan wayang kulit yang secara khusus ditujukan untuk ritual, dan berbagai pertunjukan seni tradisi.
Susunan Acara Dieng Culture Festival 2016
5 Agustus 2016
- 14.00 WIB
Pembukaan, oleh Gubernur Jawa Tengah - 15.00
Maiyahan, Kyai Kanjeng - 20.00
JAZZATASAWAN
6 Agustus 2016
- 02.00
Berburu Sunrise Dieng Plateau - 07.00
Jalan santai dan pembagian doorprize, dilanjutkan penerbangan balon - 09.00
Purwaceng Party - 10.00
Parade Seni Budaya - 19.30
Fireworks & Skylanterns
7 Agustus 2016
- 06.00
Kirab Budaya (Iring-iringan pengantar anak bajang - 09.00
Jamasan di kompleks Darmasala - 10.00
Ruwatan Cukur Gembel - 13.30
Larungan di Telaga Warna
Dapatkan paket spesial OPEN TRIP DIENG CULTURE FESTIVAL 2016.
Selasa, 05 April 2016
Dieng Culture Festival (DCF)
Dieng Culture Festival atau lebih dikenal dengan sebutan DCF, merupakan moment tahunan yang dinanti-nantikan oleh wisatawan di seantero negeri. Acara yang digelar setiap tahun ini pada intinya bertujuan untuk mempromosikan Dataran Tinggi Dieng sebagai destinasi wisata, melalui rangkaian berbagai macam kegiatan, seperti do’a bersama, pertunjukan musik berkelas nasional, pagelaran seni tradisional, ruwatan cukur gembel, dan diselingi acara-acara pendukung lain.
Melalui event yang dikemas sangat spektakuler ini, diharapkan industri pariwisata Dieng bisa mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Di sinilah wisatawan bisa melihat langsung perpaduan yang luar biasa dari potensi keindahan alam yang begitu eksotis, peninggaan historis yang agung, adat-istiadat, seni dan budaya masyarakat Dieng. Event Dieng Culture Festival, bukan sekedar ajang promosi sektor pariwisata saja, akan tetapi juga untuk menumbuhkan kepedulian bagi masyarakat umum akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan kearifan lokal.
Setiap acara yang digelar mendapatkan respon yang luar biasa dari para pengunjung. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme wisatawan yang sudah memesan tiket jauh-jauh hari sebelumnya. Selain itu, Anda akan menyaksikan bagaimana berjubalnya wisatawan di Dataran Tinggi Dieng saat acara tersebut diselenggarakan.
Lihat selengkapnya rangkaian acara Dieng Culture Festival 2016. Atau Dapatkan paket spesial OPEN TRIP DIENG CULTURE FESTIVAL 2016.
Melalui event yang dikemas sangat spektakuler ini, diharapkan industri pariwisata Dieng bisa mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Di sinilah wisatawan bisa melihat langsung perpaduan yang luar biasa dari potensi keindahan alam yang begitu eksotis, peninggaan historis yang agung, adat-istiadat, seni dan budaya masyarakat Dieng. Event Dieng Culture Festival, bukan sekedar ajang promosi sektor pariwisata saja, akan tetapi juga untuk menumbuhkan kepedulian bagi masyarakat umum akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan kearifan lokal.
Rangkaian kegiatan Dieng Culture Festival
Dari tahun ke tahun event Dieng Culture Festival selalu menghadirkan rangkaian kegiatan yang bervariasi, sehingga wisatawan tidak jenuh dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat monotone. Inilah salah satu daya tarik bagi wisatawan di berbagai penjuru untuk berkunjung ke Dataran Tinggi Dieng. Setiap acara memang sengaja dikemas sangat luar biasa, sehingga bisa menghadirkan pertunjukan yang spektakuler bagi setiap orang. Berikut beberapa acara inti yang biasa digelar dalam event Dieng Culture Festival (DCF) setiap tahunnya.- Do’a bersama
- Pertunjukan musik Jazz (Jazz Di Atas Awan)
- Pesta Lampion
- Pagelaran seni tradisional
- Ritual Cukur Rambut Gimbal
Setiap acara yang digelar mendapatkan respon yang luar biasa dari para pengunjung. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme wisatawan yang sudah memesan tiket jauh-jauh hari sebelumnya. Selain itu, Anda akan menyaksikan bagaimana berjubalnya wisatawan di Dataran Tinggi Dieng saat acara tersebut diselenggarakan.
Lihat selengkapnya rangkaian acara Dieng Culture Festival 2016. Atau Dapatkan paket spesial OPEN TRIP DIENG CULTURE FESTIVAL 2016.
Senin, 04 April 2016
Rambut Gimbal Anak-anak Dieng
Saat berkunjung ke Dataran Tinggi Dieng sering kali kita menjumpai beberapa anak berambut gimbal, orang Dieng menyebutnya dengan istilah "Rambut Gembel". Fenomena rambut gimbal di Dataran Tinggi Dieng memang menjadi hal menarik untuk diperbincangkan, pasalnya "Rambut Gembel" pada anak-anak Dieng menyimpan misteri dan mitos yang diyakini oleh masyarakat setempat.
Belum ada penelitian ilimiah terhadap rambut gembel anak-anak Dieng, namun justru hal itulah yang menjadi daya tarik bagi banyak wisatawan, dengan tetap terpeliharanya kearifan dan tradisi lokal, Ruwatan Cukur Gembel, yaitu tradisi yang berlaku turun temurun di kawasan Dieng untuk mencukur rambut anak-anak gembel, sehingga Si anak akan terbebas dari segala kesialan atau kutukan.
Anak-anak berambut gimbal di Dataran Tinggi Dieng tidak disebabkan karena faktor pemeliharaan rambut, misalnya malas keramas, atau tidak pernah menyisir rambut. Gembel pada anak-anak di Dieng juga berbeda dengan mode rambut gimbal yang sengaja dibuat. Konon, setiap orang yang memiliki garis keturunan Dieng berpotensi memiliki rambut gembel.
Ada beberapa tipe rambut gembel, yaitu gembel pari, yaitu gembel yang berukuran paling kecil seperti padi; gembel jagung, yaitu gembel seperti rambut jagung; gembel jatah, yaitu gembel yang hanya beberapa helai; dan gembel wedhus, yaitu gembel yang berukuran paling besar seperti domba. Tipe gembel wedhus paling banyak dijumpai diantara anak-anak berambut gimbal di Dataran Tinggi Dieng.
Rambut gimbal tersebut tidak terjadi semenjak lahir, pada umumnya akan muncul saat anak berumur satu hingga tiga tahun. Diawali dengan kondisi kesehatan anak yang mudah sakit-sakitan dengan suhu badan sangat tinggi, bahkan beberapa diantaranya sempat dirawat di rumah sakit. Suhu badan akan berangsur turun dan kesehatan berangsur pulih seiring dengan tumbuhnya rambut gimbal. Setelah rambut gimbal tumbuh panjang, kondisi kesehatan anak akan pulih seperti sedia kala, bahkan beberapa diantaranya memiliki ketahanan tubuh yang jauh melebihi anak-anak normal.
Anak-anak gembel di kawasan Dieng ini memiliki karakter dan kepribadian spesifik, misalnya lebih sensitif, lebih agresif, dan cenderung menjadi pemimpin diantara teman-teman sepermainannya. Terhadap anak-anak berambut gimbal ini, masyarakat Dieng meyakini bahwa mereka merupakan titipan dari Ratu Kidul, serta titisan dari Eyang Kaladete bagi anak gembel laki-laki dan Nini Ronce Kala Prenya bagi anak gembel perempuan.
Konon, Kyai Kaladete dan istrinya, Nini Ronce Kala Prenye, mendapatkan wangsit dari Ratu Kidul, bahwa mereka berdua ditugaskan untuk membawa masyarakat Dieng menuju kesejahteraan. Indikasi bahwa masyarakat Dieng sudah memperleh kesejahteraan adalah munculnya anak-anak berambut gimbal. Oleh karena itulah, warga Dieng meyakini bahwa jumlah anak-anak gembel berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Dieng. Semakin banyak anak-anak berambut gimbal, maka tingkat kesejahteraan masyarakat Dieng semakin tinggi.
Setidaknya mitos seperti itulah yang sampai saat ini masih berkembang dan diyakini oleh masyarakat Dieng. Tak mengherankan jika semua keinginan anak-anak berambut gimbal merupakan keinginan sakral yang harus dipenuhi, baik oleh orang tuanya maupun masyarakat. Keinginan yang sangat kuat dari anak-anak berambut gimbal ini akan diwujudkan bersamaan dengan upacara pemotongan rambut gimbalnya, atau warga setempat menyebutnya Ruwatan Cukur Gembel.
Jika pemotongan rambut gimbal tidak dilakukan melalui upacara atau ruwatan, maka rambut gimbalnya akan tumbuh lagi, dan kondisi kesehatan anak akan lebih buruk, mudah sakit-sakitan. Selain itu, orang tua Si anak juga akan mendapatkan kesialan terus menerus. Oleh karena itulah, tradisi Ruwatan Cukur Gembel masih terus dilakukan hingga saat ini.
Upacara pemotongan rambut gembel biasanya dilakukan di kompleks Candi Arjuna, Telaga Warna, atau tepi Telaga Cebong di basecamp Sikunir. Acara ruwatan rambut gembel ini disertai dengan beberapa sesaji. Setelah proses pemotongan, rambut Si anak gembel akan dilarung di Telaga Warna, yang berhulu di pantai selatan. Pelarungan rambut gembel ini merupakan simbol dari pengembalian bala atau kesialan kepada Ratu Kidul atau Dewa.
Belum ada penelitian ilimiah terhadap rambut gembel anak-anak Dieng, namun justru hal itulah yang menjadi daya tarik bagi banyak wisatawan, dengan tetap terpeliharanya kearifan dan tradisi lokal, Ruwatan Cukur Gembel, yaitu tradisi yang berlaku turun temurun di kawasan Dieng untuk mencukur rambut anak-anak gembel, sehingga Si anak akan terbebas dari segala kesialan atau kutukan.
Anak-anak berambut gimbal di Dataran Tinggi Dieng tidak disebabkan karena faktor pemeliharaan rambut, misalnya malas keramas, atau tidak pernah menyisir rambut. Gembel pada anak-anak di Dieng juga berbeda dengan mode rambut gimbal yang sengaja dibuat. Konon, setiap orang yang memiliki garis keturunan Dieng berpotensi memiliki rambut gembel.
Ada beberapa tipe rambut gembel, yaitu gembel pari, yaitu gembel yang berukuran paling kecil seperti padi; gembel jagung, yaitu gembel seperti rambut jagung; gembel jatah, yaitu gembel yang hanya beberapa helai; dan gembel wedhus, yaitu gembel yang berukuran paling besar seperti domba. Tipe gembel wedhus paling banyak dijumpai diantara anak-anak berambut gimbal di Dataran Tinggi Dieng.
Rambut gimbal tersebut tidak terjadi semenjak lahir, pada umumnya akan muncul saat anak berumur satu hingga tiga tahun. Diawali dengan kondisi kesehatan anak yang mudah sakit-sakitan dengan suhu badan sangat tinggi, bahkan beberapa diantaranya sempat dirawat di rumah sakit. Suhu badan akan berangsur turun dan kesehatan berangsur pulih seiring dengan tumbuhnya rambut gimbal. Setelah rambut gimbal tumbuh panjang, kondisi kesehatan anak akan pulih seperti sedia kala, bahkan beberapa diantaranya memiliki ketahanan tubuh yang jauh melebihi anak-anak normal.
Anak-anak gembel di kawasan Dieng ini memiliki karakter dan kepribadian spesifik, misalnya lebih sensitif, lebih agresif, dan cenderung menjadi pemimpin diantara teman-teman sepermainannya. Terhadap anak-anak berambut gimbal ini, masyarakat Dieng meyakini bahwa mereka merupakan titipan dari Ratu Kidul, serta titisan dari Eyang Kaladete bagi anak gembel laki-laki dan Nini Ronce Kala Prenya bagi anak gembel perempuan.
Konon, Kyai Kaladete dan istrinya, Nini Ronce Kala Prenye, mendapatkan wangsit dari Ratu Kidul, bahwa mereka berdua ditugaskan untuk membawa masyarakat Dieng menuju kesejahteraan. Indikasi bahwa masyarakat Dieng sudah memperleh kesejahteraan adalah munculnya anak-anak berambut gimbal. Oleh karena itulah, warga Dieng meyakini bahwa jumlah anak-anak gembel berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Dieng. Semakin banyak anak-anak berambut gimbal, maka tingkat kesejahteraan masyarakat Dieng semakin tinggi.
Setidaknya mitos seperti itulah yang sampai saat ini masih berkembang dan diyakini oleh masyarakat Dieng. Tak mengherankan jika semua keinginan anak-anak berambut gimbal merupakan keinginan sakral yang harus dipenuhi, baik oleh orang tuanya maupun masyarakat. Keinginan yang sangat kuat dari anak-anak berambut gimbal ini akan diwujudkan bersamaan dengan upacara pemotongan rambut gimbalnya, atau warga setempat menyebutnya Ruwatan Cukur Gembel.
Jika pemotongan rambut gimbal tidak dilakukan melalui upacara atau ruwatan, maka rambut gimbalnya akan tumbuh lagi, dan kondisi kesehatan anak akan lebih buruk, mudah sakit-sakitan. Selain itu, orang tua Si anak juga akan mendapatkan kesialan terus menerus. Oleh karena itulah, tradisi Ruwatan Cukur Gembel masih terus dilakukan hingga saat ini.
Upacara pemotongan rambut gembel biasanya dilakukan di kompleks Candi Arjuna, Telaga Warna, atau tepi Telaga Cebong di basecamp Sikunir. Acara ruwatan rambut gembel ini disertai dengan beberapa sesaji. Setelah proses pemotongan, rambut Si anak gembel akan dilarung di Telaga Warna, yang berhulu di pantai selatan. Pelarungan rambut gembel ini merupakan simbol dari pengembalian bala atau kesialan kepada Ratu Kidul atau Dewa.
Langganan:
Postingan (Atom)