Kamis, 07 April 2016

SEJARAH DIENG

Dieng merupakan kawasan yang menyimpan berjuta daya tarik dan menawarkan pesona alam yang menakjubkan. Memang, tak hanya keelokan panoramanya yang menjadi eksklusifitas Dieng, namun runtutan peristiwa historis dengan peninggalan-peninggalan purbakala yang ditemukan di Dieng juga menjadi daya tarik yang tak pernah ada habisnya untuk diperbincangkan.

Tatkala menyibak berbagai hal tentang Dieng, kita akan melintasi lorong waktu yang begitu panjang, melihat pada untaian peristiwa yang sangat rumit, dan dihadapkan pada bentangan lembar sejarah yang tak berujung, dimana di dalamnya terjadi berbagai fenomena alam, dinamika politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat melelahkan. Sebuah perjalanan historis yang pada akhirnya membentuk mentalitas, baik bagi penghuninya maupun masyarakat pada umumnya.

Ya, dari sinilah kita akan melihat bagaimana mata air peradaban mulai mengalir dan berubah menjadi arus kemajuan jaman dewasa ini. Meskipun belum lengkap bukti-bukti tertulis dan peninggalan historis lain yang mampu menyingkap misteri tentang Dieng, setidaknya kita dapat memperkirakan dan berimajinasi jauh ke masa lampau, bahwa Dataran Tinggi Dieng merupakan satu kawasan yang memegang peran penting dalam perkembangan sejarah Indonesia.

SEJARAH DIENG

Para ahli sejarah dan arkeolog banyak yang berpendapat bahwa Dataran Tinggi Dieng telah dijelajahi oleh manusia semenjak 2000 tahun lalu atau bahkan lebih. Dimungkinkan bertepatan dengan migrasi besar-besaran orang-orang Keling (India) ke tanah Jawa.

Peristiwa tersebut disimbolkan dalam sebuah mitos yang mengisahkan pemindahan kahyangan para Dewa dari Gunung Meru di Jambudwipa (Himalaya) ke Dieng. Inilah awal mula nama Dieng muncul, dalam sebuah cerita mistis yang menggambarkan Batara Guru, dikenal juga dengan sebutan Sang Hyang Jagadnata, yang diidentifikasi sebagai seorang brahmana atau penguasa di daerah Jambudwipa, memindahkan kahyangan para Dewa ke Dieng. Dan sejak saat itu, sebagaimana ungkapan Dennys Lombard dalam karyanya yang berjudul NUSA JAWA, Dieng ditetapkan sebagai Pingkalingganing Buwana.

Ya, nama Dieng memang berasal dari dua kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu Ardhi yang berarti Gunung, dan Hyang yang berarti Dewa. Tak mengherankan jika Dieng dikenal juga dengan sebutan Negeri Para Dewa.

Terlepas dari kebenaran mitos tersebut, Dieng tetap menjadi satu kawasan eksklusif. Jika kita melihat peta pulau Jawa, dan menarik garis diagonal dari ujung barat di sisi utara hingga ujung timur di sisi selatan Pulau Jawa, maka kita akan melihat bahwa Dataran Tinggi Dieng tepat berada di tengah-tengahnya. Bisa dibayangkan, kecermatan perhitungan yang luar biasa, tanpa teknologi secanggih saat ini, ribuan tahun silam sudah mampu menentukan sebuah titik lokasi yang strategis untuk menyebarkan peradaban.

Tentu saja hal ini semakin mempertegas betapa hebatnya kemampuan leluhur kita dalam memilih Dieng sebagai Pingkalingganing Buwana sekaligus Kahyangan Para Dewa. Artinya, Dataran Tinggi Dieng menjadi gunung yang disucikan atau ditasbihkan kesuciannya oleh para Dewa sejak ribuan tahun silam. Inilah salah satu alasan, mengapa pada masa-masa mendatang Dieng akan menjadi kawasan yang selalu diburu oleh banyak orang.

Migrasi besar-besaran bangsa Keling, diperkirakan dilakukan dengan perencanaan yang matang selama bertahun-tahun, disebabkan karena beberapa hal, seperti serbuan para pengembara Hun dari padang rumput Eurasia serta desakan dan pengaruh Helenisasi dari Yunani, pada masa pengelanaan Alexander The Great.

Informasi lain, seperti Kitab Paramayoga karya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita, mengisahkan bahwa kepindahan Sang Hyang Jagadnata (Syiwa) ke Tanah Jawa berkaitan dengan konsep kenabian Isa.

Salah satu keturunan Sang Hyang Jagadnata adalah Ajisaka, seorang tokoh yang memperkenalkan Aksara Jawa dan tertib sosial kepada pribumi. Dalam Serat Niti Sastra Kawi, Serat Paramayoga, dan Serat Pustaka Raja Purwa, dimana ketiga serat tersebut disesuaikan dengan Serat Juz Al Gubet dan Serat Miladuniren yang beredar di Turki, terdapat informasi yang menyebutkan bahwa pertama-tama Ajisaka datang ke Tanah Jawa, ia bertapa terlebih dahulu di Pegunungan Dieng yang telah ditasbihkan kesuciannya oleh Sang Hyang Jagadnata sebagai Pingkalingganing Buwana.

Kompleks candi-candi di Dieng dibangun pada abad ke 7-8 Masehi, pada masa pemerintahan Kerajaan Kalingga, dengan Ratu yang sangat fenomenal dalam sejarah kita, yakni Ratu Sima. Harus diakui bahwa kompleks percandian Dieng merupakan bukti kebesaran Wangsa Jawa pada waktu itu, yang kemudian disusul munculnya Dinasti Sanjaya dan Syailendra yang berkuasa di Jawa beberapa abad kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar